SWASEMBADA
PANGAN
1. PENGERTIAN SWASEMBADA PANGAN
Swasembada pangan berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan yang sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimilki dan pengetauhan lebih yang dapat menjalankan kegiatan ekonomi tersebut terutama di bidang kebutuhan pangan.Yang kita ketahui Negara Indonesia sangat berlimpah dengan kekayaan sumber daya alam yang harusnya dapat menampung semua kebutuhan pangan masyarakat Indonesia slah satu cara yaiutu dengan berbagai macam kegiatan seperti ini :
• Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.
• Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.
• Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat2an, teknologi maupun sdm petani.
• Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya Indonesia timur).
Jadi diversifikasi adalah bagian dr program swasembada pangan yg memiliki pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab di indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan sosialisasi ragam menu yang tidak mengharuskan makan nasi seperti yang mengandung karbohidrat juga seperti nasi yaitu : singkong,ubi,kentang.
1. PENGERTIAN SWASEMBADA PANGAN
Swasembada pangan berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan yang sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimilki dan pengetauhan lebih yang dapat menjalankan kegiatan ekonomi tersebut terutama di bidang kebutuhan pangan.Yang kita ketahui Negara Indonesia sangat berlimpah dengan kekayaan sumber daya alam yang harusnya dapat menampung semua kebutuhan pangan masyarakat Indonesia slah satu cara yaiutu dengan berbagai macam kegiatan seperti ini :
• Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.
• Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.
• Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat2an, teknologi maupun sdm petani.
• Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya Indonesia timur).
Jadi diversifikasi adalah bagian dr program swasembada pangan yg memiliki pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab di indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan sosialisasi ragam menu yang tidak mengharuskan makan nasi seperti yang mengandung karbohidrat juga seperti nasi yaitu : singkong,ubi,kentang.
2. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM SWASEMBADA PANGAN
Penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, menyediakan sumber pangan dan bahan baku industri/biofuel, pemicu pertumbuhan ekonomi di pedesaan, perolehan devisa, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Dengan demikian, sektor pertanian masih tetap akan berperan besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Belajar dari pengalaman masa lalu dan kondisi yang dihadapi saat ini, sudah selayaknya sektor pertanian menjadi sektor unggulan dalam menyusun strategi pembangunan nasional.
Sektor pertanian haruslah diposisikan sebagai sektor andalan perekonomian nasional. Revitalisasi Pertanian dan Perdesaan, secara garis besar ditujukan untuk:
• meningkatkan peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional
• menciptakan lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja non-pertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah terbuka
• meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan masyarakat perdesaan, yang dicerminkan dari peningkatan pendapatan dan produktivitas pekerja di sektor pertanian.
Selama periode 2004-2008 pertumbuhan produksi tanaman pangan secara konsisten mengalami peningkatan yang signifikan. Produksi padi meningkat rata-rata 2,78% per tahun (dari 54,09 juta ton GKG tahun 2004 menjadi 60,28 juta ton GKG tahun 2008 (ARAM III), bahkan bila dibanding produksi tahun 2007, produksi padi tahun 2008 meningkat 3,12 juta ton (5,46%). Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai selama ini, sehingga tahun 2008 Indonesia kembali dapat mencapai swasembada beras, bahkan terdapat surplus padi untuk ekspor sebesar 3 juta ton. Keberhasilan tersebut telah diakui masyarakat international, sebagaimana terlihat pada Pertemuan Puncak tentang Ketahanan Pangan di Berlin bulan Januari 2009. Beberapa negara menaruh minat untuk mendalami strategi yang ditempuh Indonesia dalam mewujudkan ketahan pangan.
Demikian pula produksi jagung meningkat 9,52% per tahun (dari 11,23 juta ton pipilan kering tahun 2004 menjadi 15,86 juta ton tahun 2008). Bahkan dibanding produksi jagung tahun 2007, peningkatan produksi jagung tahun 2008 mencapai 19,34% (naik 2,57 juta ton). Pencapaian produksi jagung tahun 2008 juga merupakan produksi tertinggi yang pernah dicapai selama ini.
Peningkatan produksi tanaman pangan yang spektakuler tahun 2008 (terutama padi, jagung, gula, sawit, karet, kopi, kakao dan daging sapi dan unggas), dapat dijelaskan oleh beberapa faktor. Pertama, Tingginya motivasi petani/pelaku usaha pertanian utnuk berproduksi karena pengaruh berbagai kebijakan dan program pemerintah meliputi penetapan harga, pengendalian impor, subsidi pupuk dan benih, bantuan benih gratis, penyediaan modal, akselerasi penerapan inovasi teknologi, dan penyuluhan.. Kedua, perkembangan harga-harga komoditas pangan di dalam negeri yang kondusif sebagai refleksi dari perkembangan harga di pasar dunia dan efektifitas kebijakan pemerintah. Ketiga, kondisi iklim memang sangat kondusif dengan curah hujan yang cukup tinggi dan musim kemarau relatif pendek.
3. PROGRAM PEMERINTAH SAAT INI DALAM SWASEMBADA PANGAN
Laju pertumbuhan penduduk yang positif membuat Indonesia harus terus menerus memacu produksi berasnya agar tetap swasembada beras. Sementara, fenomena banjir dan kekeringan yang semakin tidak terkendali dan tingginya laju konversi fungsi lahan sawah ke penggunaan yang lain di luar produksi beras akhir-akhir ini, mengisyaratkan bahwa resiko akan terjadinya kegagalan produksi beras di negeri ini telah semakin meningkat dari waktu ke waktu. Merosotnya kemampuan finansial pemerintah dalam melakukan rehabilitasi dan perluasan jaringan irigasi bahkan telah membuat kondisi resiko produksi semakin buruk.Sehingga, ke depan sangatlah mungkin terjadi pada suatu periode waktu tingkat produksi beras nasional jatuh pada level yang jauh di bawah target yang dibutuhkan untuk mencapai swasembada beras. Artinya, pada saat itu Indonesia akan kekurangan beras dalam jutaan ton. Bagi Indonesia, jelas kiranya bahwa jalan menuju ketahanan pangan nasional yang lestari bukanlah swasembada beras, tetapi swasembada pangan. Artinya, suka tidak suka, senang tidak senang penduduk negeri ini harus melakukan diversifikasi pangan apabila tidak mau berhadapan dengan ‘kiamat' pangan di masa depan. Sesungguhnya, pemerintah sudah lama menyadari pentingnya diversifikasi pangan, bahkan telah mempunyai berbagai program untuk mempromosikannya. Namun, suatu hal penting yang telah lama diabaikan oleh pemerintah adalah bahwa program swasembada beras tidak ‘compatible' dengan program diversifikasi pangan. Selama beras tersedia di mana saja, kapan saja dengan harga yang relatif murah seperti sekarang ini, masyarakat Indonesia tidak akan tertarik mengurangi konsumsi beras dan mengkompensasinya dengan penambahan konsumsi pangan lainnya, seperti jagung dan sagu.Hal inilah sesungguhnya yang membuat penduduk negeri ini doyan beras, bukanlah karena seleranya kaku. Sebab, faktanya, setiap harinya masyarakat Indonesia mengkonsumsi paket pangan yang merupakan campuran dari nasi dan bukan nasi. Artinya, ada ruangan untuk terjadinya substitusi beras dengan non-beras dalam paket konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Namun, ruangan subsitusi ini telah menjadi sangat sempit saat ini. Sebagai akibatnya, nasi (beras) telah menjadi sangat dominan dalam paket konsumsi harian penduduk negeri ini. Hal ini terjadi karena pemerintah telah sejak lama mengimplementasikan kebijakan pangan yang keliru.
Mestinya, pemerintah segera melakukan koreksi atas kebijakan pangan yang keliru ini. Kelihatannya, kita sulit mengharapkan koreksi seperti itu terjadi dalam waktu yang dekat. Swasembada beras telah menjadi arena untuk memuaskan berbagai kepentingan yang berbeda. Ada pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik, sementara berbagai pihak lainnya memanfaatkannya untuk mendapatkan rente ekonomi (economic rent). Bagi industri yang membayar buruhnya dengan upah murah, swasembada beras yang menjamin ketersediaan beras dengan harga murah jelas sangat penting. Sebab, buruh yang dibayar murah tidak mungkin produktif apabila kebutuhan pangannya tidak cukup. Agar buruh tetap produktif meskipun dibayar murah, maka harga pangan harus murah. Sementara, bagi negara-negara maju yang mempunyai surplus bahan pangan dalam kuantitas yang sangat besar adalah penting untuk mendukung Indonesia terus mengejar swasembada beras dengan memberikan bantuan teknis dan finansial. Soalnya, dengan mengutamakan produksi beras, Indonesia akan tertinggal dalam produksi pangan lainnya, meskipun sesungguhnya permintaan dalam negerinya meningkat, seperti halnya dengan permintaan beras nasional. Defisit produksi nasional yang terjadi akan menjadi pasar eksport yang empuk bagi surplus produksi pangannya. Sejatinya, hal inilah yang merupakan penjelasan mengapa Indonesia saat ini sangat tergantung pada pasar import pangan non-beras, seperti jagung dan kedele, sebagaimana diungkapkan oleh media massa nasional pada akhir tahun 2009 lalu.
Tidak ada jalan keluar dari jebakan swasembada beras ini, selain ketegasan politik pemerintah untuk memberhentikan program swasembada beras dan menggantinya dengan program swasembada pangan yang berbasis aneka bahan pangan.
Penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, menyediakan sumber pangan dan bahan baku industri/biofuel, pemicu pertumbuhan ekonomi di pedesaan, perolehan devisa, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Dengan demikian, sektor pertanian masih tetap akan berperan besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Belajar dari pengalaman masa lalu dan kondisi yang dihadapi saat ini, sudah selayaknya sektor pertanian menjadi sektor unggulan dalam menyusun strategi pembangunan nasional.
Sektor pertanian haruslah diposisikan sebagai sektor andalan perekonomian nasional. Revitalisasi Pertanian dan Perdesaan, secara garis besar ditujukan untuk:
• meningkatkan peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional
• menciptakan lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja non-pertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah terbuka
• meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan masyarakat perdesaan, yang dicerminkan dari peningkatan pendapatan dan produktivitas pekerja di sektor pertanian.
Selama periode 2004-2008 pertumbuhan produksi tanaman pangan secara konsisten mengalami peningkatan yang signifikan. Produksi padi meningkat rata-rata 2,78% per tahun (dari 54,09 juta ton GKG tahun 2004 menjadi 60,28 juta ton GKG tahun 2008 (ARAM III), bahkan bila dibanding produksi tahun 2007, produksi padi tahun 2008 meningkat 3,12 juta ton (5,46%). Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai selama ini, sehingga tahun 2008 Indonesia kembali dapat mencapai swasembada beras, bahkan terdapat surplus padi untuk ekspor sebesar 3 juta ton. Keberhasilan tersebut telah diakui masyarakat international, sebagaimana terlihat pada Pertemuan Puncak tentang Ketahanan Pangan di Berlin bulan Januari 2009. Beberapa negara menaruh minat untuk mendalami strategi yang ditempuh Indonesia dalam mewujudkan ketahan pangan.
Demikian pula produksi jagung meningkat 9,52% per tahun (dari 11,23 juta ton pipilan kering tahun 2004 menjadi 15,86 juta ton tahun 2008). Bahkan dibanding produksi jagung tahun 2007, peningkatan produksi jagung tahun 2008 mencapai 19,34% (naik 2,57 juta ton). Pencapaian produksi jagung tahun 2008 juga merupakan produksi tertinggi yang pernah dicapai selama ini.
Peningkatan produksi tanaman pangan yang spektakuler tahun 2008 (terutama padi, jagung, gula, sawit, karet, kopi, kakao dan daging sapi dan unggas), dapat dijelaskan oleh beberapa faktor. Pertama, Tingginya motivasi petani/pelaku usaha pertanian utnuk berproduksi karena pengaruh berbagai kebijakan dan program pemerintah meliputi penetapan harga, pengendalian impor, subsidi pupuk dan benih, bantuan benih gratis, penyediaan modal, akselerasi penerapan inovasi teknologi, dan penyuluhan.. Kedua, perkembangan harga-harga komoditas pangan di dalam negeri yang kondusif sebagai refleksi dari perkembangan harga di pasar dunia dan efektifitas kebijakan pemerintah. Ketiga, kondisi iklim memang sangat kondusif dengan curah hujan yang cukup tinggi dan musim kemarau relatif pendek.
3. PROGRAM PEMERINTAH SAAT INI DALAM SWASEMBADA PANGAN
Laju pertumbuhan penduduk yang positif membuat Indonesia harus terus menerus memacu produksi berasnya agar tetap swasembada beras. Sementara, fenomena banjir dan kekeringan yang semakin tidak terkendali dan tingginya laju konversi fungsi lahan sawah ke penggunaan yang lain di luar produksi beras akhir-akhir ini, mengisyaratkan bahwa resiko akan terjadinya kegagalan produksi beras di negeri ini telah semakin meningkat dari waktu ke waktu. Merosotnya kemampuan finansial pemerintah dalam melakukan rehabilitasi dan perluasan jaringan irigasi bahkan telah membuat kondisi resiko produksi semakin buruk.Sehingga, ke depan sangatlah mungkin terjadi pada suatu periode waktu tingkat produksi beras nasional jatuh pada level yang jauh di bawah target yang dibutuhkan untuk mencapai swasembada beras. Artinya, pada saat itu Indonesia akan kekurangan beras dalam jutaan ton. Bagi Indonesia, jelas kiranya bahwa jalan menuju ketahanan pangan nasional yang lestari bukanlah swasembada beras, tetapi swasembada pangan. Artinya, suka tidak suka, senang tidak senang penduduk negeri ini harus melakukan diversifikasi pangan apabila tidak mau berhadapan dengan ‘kiamat' pangan di masa depan. Sesungguhnya, pemerintah sudah lama menyadari pentingnya diversifikasi pangan, bahkan telah mempunyai berbagai program untuk mempromosikannya. Namun, suatu hal penting yang telah lama diabaikan oleh pemerintah adalah bahwa program swasembada beras tidak ‘compatible' dengan program diversifikasi pangan. Selama beras tersedia di mana saja, kapan saja dengan harga yang relatif murah seperti sekarang ini, masyarakat Indonesia tidak akan tertarik mengurangi konsumsi beras dan mengkompensasinya dengan penambahan konsumsi pangan lainnya, seperti jagung dan sagu.Hal inilah sesungguhnya yang membuat penduduk negeri ini doyan beras, bukanlah karena seleranya kaku. Sebab, faktanya, setiap harinya masyarakat Indonesia mengkonsumsi paket pangan yang merupakan campuran dari nasi dan bukan nasi. Artinya, ada ruangan untuk terjadinya substitusi beras dengan non-beras dalam paket konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Namun, ruangan subsitusi ini telah menjadi sangat sempit saat ini. Sebagai akibatnya, nasi (beras) telah menjadi sangat dominan dalam paket konsumsi harian penduduk negeri ini. Hal ini terjadi karena pemerintah telah sejak lama mengimplementasikan kebijakan pangan yang keliru.
Mestinya, pemerintah segera melakukan koreksi atas kebijakan pangan yang keliru ini. Kelihatannya, kita sulit mengharapkan koreksi seperti itu terjadi dalam waktu yang dekat. Swasembada beras telah menjadi arena untuk memuaskan berbagai kepentingan yang berbeda. Ada pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik, sementara berbagai pihak lainnya memanfaatkannya untuk mendapatkan rente ekonomi (economic rent). Bagi industri yang membayar buruhnya dengan upah murah, swasembada beras yang menjamin ketersediaan beras dengan harga murah jelas sangat penting. Sebab, buruh yang dibayar murah tidak mungkin produktif apabila kebutuhan pangannya tidak cukup. Agar buruh tetap produktif meskipun dibayar murah, maka harga pangan harus murah. Sementara, bagi negara-negara maju yang mempunyai surplus bahan pangan dalam kuantitas yang sangat besar adalah penting untuk mendukung Indonesia terus mengejar swasembada beras dengan memberikan bantuan teknis dan finansial. Soalnya, dengan mengutamakan produksi beras, Indonesia akan tertinggal dalam produksi pangan lainnya, meskipun sesungguhnya permintaan dalam negerinya meningkat, seperti halnya dengan permintaan beras nasional. Defisit produksi nasional yang terjadi akan menjadi pasar eksport yang empuk bagi surplus produksi pangannya. Sejatinya, hal inilah yang merupakan penjelasan mengapa Indonesia saat ini sangat tergantung pada pasar import pangan non-beras, seperti jagung dan kedele, sebagaimana diungkapkan oleh media massa nasional pada akhir tahun 2009 lalu.
Tidak ada jalan keluar dari jebakan swasembada beras ini, selain ketegasan politik pemerintah untuk memberhentikan program swasembada beras dan menggantinya dengan program swasembada pangan yang berbasis aneka bahan pangan.
Program swasembada pangan pada masa susilo bambang yudhoyono
Pada masa nya SBY dianggap gagal dalam hal swasembada
pangan dan hanya dianggap keberhasilan yang semu,Pentingnya pencapaian
swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya,
dan politik Indonesia. Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia.
Berbagai bahan makanan lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah,
namun rakyat tidak menyukainya.
Ketika harga beras melonjak sampai pada titik di mana
konsumsinya harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan.
Beras adalah pusat dari semua hubungan pertalian sosial.
Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya:
Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya:
1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras.
Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling
berperan dalam pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam
bisnis pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan pasokan dan harga
pada tingkat ansional.
Bulog sengaja diciptakan untuk mendistorsi mekanisme harga
beras dengan manipulasi untuk memelihara pasar yang lebih kuat. Selama
tahun-tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara bertahap menaikkan
harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade 80-an, ketika Indonesia
surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri untuk mencegah jatuhnya
harga. Tindakan ini membantu memelihara stabilitas pasar.
2. Teknologi dan Pendidikan. Sejak tahun 1963, Indonesia
memperkenalkan banyak program kepada para petani untuk meningkatkan
produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi
pertanian kepada para petani.
Di samping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk
menjamin teknik dan teknologi baru dimengerti dan digunakan secara benar.
Faktor lain yang berperan penting dalam meningkatkan hasil padi adalah
peningkatan penggunaan pupuk kimia.
3. Koperasi Pedesaan. Pada tahun 1972, ketika Indonesia
kembali mengalami panen buruk, pemerintah menganjurkan pembentukan koperasi
sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua
bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa).
Pada tingkat kabupaten, ada koperasi serba usaha yang
disebut KUD (Koperasi Unit Desa). Koperasi juga bertindak sebagai pusat
penyebaran informasi atau pertemuan organisasi.
4. Prasarana. Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara
langsung ditujukan untuk pembangunan pertanian, dan semuanya secara langsung
memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada beras. Sistem irigasi merupakan
hal penting dalam pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan prasarana lain
yang berdampak langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk berswasembada
beras adalah program besar-besaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan dan
pelabuhan.
Pada masa itu, petani dipaksa bekerja dengan program
pertanian modern yang penuh dengan tambahan kimiawi yang merendahkan kualitas
kesuburan tanah untuk jangka panjang. Para petani dipaksa bertanam dengan
menggunakan sarana produksi pupuk, obat hama, benih, dan lain sebagainya yang
dipasarkan oleh beberapa perusahaan MNC/TNC yang mendapatkan lisensi pemerintah.
Penggunaan saprodi produk perusahaan MNC/TNC tersebut harus
dibeli petani dengan harga mahal dari tahun ke tahun. Akibatnya, biaya produksi
pertanian selalu melambung dan tidak terjangkau oleh petani domestik.
Ironisnya, harga jual produk pertanian terutama beras, dikontrol dan dibuat
murah harganya oleh pemerintah.
Pemerintah juga sering melakukan praktik dagang menjelang
pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Stok beras di pasaran dibuat
langka baru kemudian harga naik, akhirnya masyarakat dipaksa memahami impor
beras yang akan dilakukan oleh pemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh
pemerintah berdampak dua hal yakni:
Pertama, menurunkan motivasi kerja para petani karena hasil
kerja kerasnya akan kalah berkompetisi dengan beras impor di pasaran.
Kedua, menterpurukkan tingkat pendapatan petani domestik
yang rendah menjadi sangat rendah.
Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme.
Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme.
Kebijakan impor beras adalah pemenuhan kesepakatan AoA
(Agreement on Agriculture) WTO yang disepakati oleh Presiden Soeharto tahun
1995 dan dilanjutkan pemerintahan penerusnya sampai sekarang. Butir-butir
kesepakatan AoA terdiri dari :
1. Kesepakatan market access (akses pasar) komoditi
pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia harus dibuka
seluas-luasnya bagi proses masuknya komoditi pertanian luar negeri, baik beras,
gula, terigu, dan lain sebagainya.
2. Penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang
pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi
pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian.
3. Penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog
tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan,
kecuali beras.
Dampak pemenuhan kesepakatan AoA WTO sangat menyedihkan bagi
kondisi pertanian lndonesia semenjak 1995 hingga sekarang ini. Sektor pertanian
di Indonesia mengalami keterpurukan dan kebangkrutan. Akibat memenuhi
kesepakatan AoA WTO, Indonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar
di dunia pada tahun 1998 sebesar 4,5 juta ton setahun.
Beberapa kalangan aktivis gerakan petani di lndonesia
menyebutkan merosotnya produksi beras nasional semenjak tahun 1985-2009
dikarenakan problem warisan struktural pertanian masih melekat dalam kehidupan
petani. Di antaranya, semakin banyak petani yang berlahan sempit (menjamumya
petani gurem) dan tidak adanya kemajuan teknologi pertanian yang berorientasi
ekologis.
Menurut sebuah studi oleh Peter Timmer pada tahun 1975,
Konsep kepemilikan lahan rata-rata memang agak kabur pada tingkat mikro karena
adanya perbedaan besar dalam hal penggunaan dan kualitas lahan. Namun demikian,
fakta yang perlu ditekankan adalah bahwa lebih dari dua pertiga populasi usaha
tani hanya memiliki kurang dari setengah hektar lahan untuk bercocok tanam,
bahkan mungkin kurang dari sepertiga hektar lahan”.
Kemiskinan struktural di Indonesia juga dikemukakan oleh
Geertz pada penelitiannya di tahun 1963, yang membawa pada gagasan shared
poverty (kemiskinan yang ditanggung bersama). Pekerjaan dan pendapatan dari
sektor pertanian dibagi-bagi kepada anggota keluarga, atau desa, sehingga semua
mendapat pekerjaan dan makanan, namun tetap miskin.
Geertz secara pesimis menyimpulkan bahwa barangkali tidak
mungkin untuk memperbaiki pertanian Indonesia secara signifikan. Karena, tanpa
mengubah struktur sosial secara besar-besaran, “Setiap usaha untuk mengubah
arah perkembangannya, misalnya menabur pupuk di atas lahan pertanian di Jawa
yang sangat sempit, irigasi modern, cocok tanam padat karya dan diversifikasi
tanaman, hanya akan menumbuhkan satu hal: paralisis.”
Hasil survei Petani Center NGos tahun 2007 menyatakan bahwa
tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektare kalah
dibandingkan dengan upah bulanan buruh industri di kota besar. Para petani yang
memiliki tanah/sawah 0,5 hektare untuk sekali musim tanam memerlukan biaya
produksi sebanyak Rp 2,5 juta, termasuk biaya sarana produksi, upah pekerja,
pemeliharaan, dan lain-lain.
Sementara itu, hasil dari produksi beras/padi sawah seluas
0,5 hektare yang dijual, setelah sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga,
hanya menghasilkan Rp 3,5 juta hingga Rp 4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya
Rp 1 juta sampai Rp 2 juta, yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya
mendapatkan laba Rp 700.000 per bulan. Jika impor beras dilakukan dan harga
beras petani semakin anjlok, dapat dibayangkan berapa keuntungan yang akan
didapatkan oleh para petani negeri ini.
Presiden SBY adalah seorang doktor pertanian yang pernah
menulis tesis tentang revitalisasi pertanian dengan beberapa kesimpulan, di
antaranya:
1) Untuk membangun kembali pertanian maka intervensi asing
semacam IMF dan World Bank harus dinetralisasikan dari bidang pertanian.
(2) Pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya
untuk mendukung sektor pertanian.
(3) Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian
yang berorientasi kepentingan petani dengan penerapan penuh sistem pertanian
berkelanjutan. Namun sayangnya keyakinan atau ide cerdas SBY dalam disertasinya
berbalik dengan realitas kebijakan ekonomi-politik pertanian yang direncanakan
dan diimplementasikan.
Kebijakan pemerintahan SBY saat ini tidak mendukung
berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Antara lain, Indonesia telah
mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris.
Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan
potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan. Konversi tata guna
lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang
menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara.
Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama
terpuruknya sektor pertanian, di antaranya :
1. Dari segi sarana dan prasarana, dana pemeliharaan
infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan
lahan baru tidak berlanjut.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.
3. Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah
membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para elite politik membuat kebijakan
demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan
tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak
hukum.
4. HAMBATAN DALAM PROGRAM SWASEMBADA PANGAN
Program swasembada pangan masih bergantung pada luasan lahan yang tersedia.Dalam menuju swasembada pangan nasional seperti kedelai, jagung, padi, gula, semuanya masih bergantung pada luas lahan yang ada. Tanpa ada realisasi perluasan lahan, mustahil target swasembada pangan 2014 terwujud.Dalam memenuhi swasembada pangan, Indonesia masih membutuhkan lahan sekitar 3 juta Ha. Target produksi padi (GKG) pada 2014 adalah 75 juta ton dari 64 juta ton sekarang. Jagung dari 17 juta ton menjadi 29 juta ton, kedelai pada 2014 ditargetkan 2,7 juta ton. Begitu industri gula sekarang baru 2,3 juta ton ditargetkan naik menjadi 3,6 juta ton pada tahun 2014.Target semua di atas tentu memerlukan tambahan lahan yang cukup signifikan. Apakah semuanya bisa tercapai, jika moratorium dilaksanakan. Secara teknis pemberlakuan moratorium, sejatinya tidak menguntungkan dalam menuju swasembada pangan. Pelaksanaan ini juga berimbas padakomoditas lain, seperti sektor perkebunan (CPO) dan kehutanan (HTI). Memang komoditas pangan ini diprioritaskan untuk pemenuhan domestik, sedangkan kedua sektor di atas masih menjadi andalan ekspor nasional.
Dengan terbatasnya lahan yang tersedia, pemberlakuan moratorium dikhawatirkan akan mengganggu target swasembada pangan 2014. Moratorium tidak hanya menghambat masalah teknis, tetapi menambah potensi kerugian dan uncertain dalam berinvestasi. Bandingkan "hadiah" yang diberikan dengan nilai kerugiannya ekonomi akibat moratorium. Pemberian dalam bentuk grant atau hibah ini juga belum tentu disetujui Stortinget (parlemen) di negaranya.Adapun, masa moratorium selama 2 (dua) tahun, tidak menjamin hutan tidak dijarah atau rusak, tapi akan malah menderukan suara chainsaw semakin kencang. Jadi dalam hal ini, siapa yang untung dan buntung? Akhirnya pemerintah telah menandatangani LoI dan segera melaksanakan 1 Januari 2011. Ini pertanda apa. Industri kita akan kiamat (buntung) atau industri mereka akan selamat (untung). Notabene negara pemberi hadian ini adalah kompetitor besar Indonesia pada komoditas hasil kehutanan.
Program swasembada pangan masih bergantung pada luasan lahan yang tersedia.Dalam menuju swasembada pangan nasional seperti kedelai, jagung, padi, gula, semuanya masih bergantung pada luas lahan yang ada. Tanpa ada realisasi perluasan lahan, mustahil target swasembada pangan 2014 terwujud.Dalam memenuhi swasembada pangan, Indonesia masih membutuhkan lahan sekitar 3 juta Ha. Target produksi padi (GKG) pada 2014 adalah 75 juta ton dari 64 juta ton sekarang. Jagung dari 17 juta ton menjadi 29 juta ton, kedelai pada 2014 ditargetkan 2,7 juta ton. Begitu industri gula sekarang baru 2,3 juta ton ditargetkan naik menjadi 3,6 juta ton pada tahun 2014.Target semua di atas tentu memerlukan tambahan lahan yang cukup signifikan. Apakah semuanya bisa tercapai, jika moratorium dilaksanakan. Secara teknis pemberlakuan moratorium, sejatinya tidak menguntungkan dalam menuju swasembada pangan. Pelaksanaan ini juga berimbas padakomoditas lain, seperti sektor perkebunan (CPO) dan kehutanan (HTI). Memang komoditas pangan ini diprioritaskan untuk pemenuhan domestik, sedangkan kedua sektor di atas masih menjadi andalan ekspor nasional.
Dengan terbatasnya lahan yang tersedia, pemberlakuan moratorium dikhawatirkan akan mengganggu target swasembada pangan 2014. Moratorium tidak hanya menghambat masalah teknis, tetapi menambah potensi kerugian dan uncertain dalam berinvestasi. Bandingkan "hadiah" yang diberikan dengan nilai kerugiannya ekonomi akibat moratorium. Pemberian dalam bentuk grant atau hibah ini juga belum tentu disetujui Stortinget (parlemen) di negaranya.Adapun, masa moratorium selama 2 (dua) tahun, tidak menjamin hutan tidak dijarah atau rusak, tapi akan malah menderukan suara chainsaw semakin kencang. Jadi dalam hal ini, siapa yang untung dan buntung? Akhirnya pemerintah telah menandatangani LoI dan segera melaksanakan 1 Januari 2011. Ini pertanda apa. Industri kita akan kiamat (buntung) atau industri mereka akan selamat (untung). Notabene negara pemberi hadian ini adalah kompetitor besar Indonesia pada komoditas hasil kehutanan.
5.Solusi
Sekali lagi, kebijakan strategis dan pembangunan
pertanian pangan yang komprehensif dan terpadu adalah kunci menuju swasemada
pangan berkelanjutan. Pertama, melindungi dan memberdayakan petani. Secara
sederhana bisa diterjemahkan melalui pemberian lahan yang cukup, subsidi
pertanian (modal, benih, obat-obatan, dan pupuk), subsidi pendidikan bagi anak
petani, penyuluhan pertanian, pembangunan infrastruktur (jalan, listrik, dan
irigasi) dan teknologi pertanian, mempermudah pemasaran produk pertanian, dan
membangun industri pengolahan produk pertanian.
Jika pemerintah memiliki komitmen dan keseriusan
untuk menciptakan kesejahteraan rakyat (petani) sesuai dengan konstitusi, maka
sudah menjadi keharusan untuk melindungi dan memberdayakan petani. Mengenai
pemberian lahan yang cukup, sebenarnya sudah diatur dalam pembaruan
agraria yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria atau UUPA. Sebagai pertimbangan, Indonesia masih
memiliki lahan menganggur seluas 7,3 juta hektar. Jangan sampai lahan
menganggur ini hanya diberikan kepada pemilik modal yang justru mengolahnya
bukan untuk kepentingan pangan nasional. Karena itu, sejalan dengan upaya
melindungi dan memberdayakan petani, alih fungsi lahan untuk areal industri
perkebunan dan pertambangan sudah saatnya dihentikan.
Kedua, mengembangkan pertanian pangan nasional
secara terpadu. Semua pihak hendaknya dilibatkan dalam pengembangan pertanian
pangan nasional, mulai dari lembaga pemerintah, lembaga pendidikan dan
penelitian, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers, organisasi kemasyarakatan
(ormas), tokoh masyarakat, hingga petani, untuk memiliki kepaduan. Perlu ditekankan,
kemauan politik untuk mencipatkan swasembada pangan harus berbasis pada
produksi pangan dalam negeri yang mandiri. Dengan harapan agar kedaulatan
pangan yang sejati akan tercapai, yakni swasembada pangan berkelanjutan yang
dilandasi prinsip-prinsip demokrasi. Indonesia belum terlambat melakukannya.
Pertanyaan sekarang, apakah pemerintah memiliki kemuan politik menuju
swasembada pangan dan menyejahterakan rakyat (petani)?
6. KESIMPULAN
Jadi swaembada pangan bagi Indonesia belum mencukupi atau Indonesia belum dapat memenuhi swasembada pangan untuk Indonesia sendiri.Karena swasembada pangan apabila Negara tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan pangan untuk seluruh masyarakatnya serta tidak tergantung terhadap impor pangan dari Negara lain.Pemerintah telah mengupayakan Indonesia untuk memeuhi kebutuhan pangan untuk seluruh penduduk Indonesia tetapi pada kenyataannya program yang telah dijalankan oleh pemerintah belum akurat dalam membantu program swasembada pangan.Hambatan yang terjadi dalam terciptanya swasembada pangan adalah kekurangan lahan untuk bercocok tanam karena penduduk Indonesia sangat banyak maka memerlukan di setiap daerah swasembada pangan yang cukup luas lahan.Solusinya adalah pemerintah harus menyisihkan di setiap provinsi maupun daerah-daerah untuk mempunyai lahan yang luas agar dapat menanam semua kebutuhan pangan disitu.Jangan setiap ada lahan kosong langsung menjadi proyek bisnis untuk menghasilkan keuntungan pihak tertentu atau pribadi.Sehingga lahan yang seharusnya digunakan dalam menjalakan program swasembada malah menjadi suatu bisnis yang menyebabkan kepadatan penduduk dengan didirikan rumah-rumah permanen,mol,hotel serta apartement. Menjadi salah satu hambatan dan Indonesia akan terus menerus kekurangan bahan pangan dan mengimpor dari Negara lain.
DAFTAR PUSTAKA :
• http://bataviase.co.id/node/278197
• http://www.iasa-pusat.org/artikel/strategi-dan-pencapaian-swasembada-pangan-di-indonesia.html
• http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080409213724AAuJk0F
•http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/archive/viewAbstrakArchive?id=f7e4d153adc2a2e0de70cfb4484e9323